Konflik Lahan, Petani Pasaman Barat Mengadu ke LBH Padang
Yonda Sisko - detikNewsBalaipandan komunitas
"Kami meminta agar pihak terkait menyelesaikan kasus perusakan tanaman yang dilakukan oleh sejumlah anggota Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) secara hukum. Kita juga meminta tiga anggota kelompok tani Kayu Arraw yang ditahan polisi dibebaskan," ujar wakil kelompok tani Kayu Arraw, Ahmad Al Hadi, saat mengadu ke LBH Padang, Senin (13/6/2011).
Dikatakan Ahmad, tiga teman mereka yang kini mendekam dalam tahanan Polsek Pasaman Barat itu yakni Yuherman (33), Akhtal (40) dan Febri Nanda (25). Ketiganya ditahan dengan tuduhan secara bersama-sama melakukan perusakan terhadap rumah tinggal milik ketua Lembaga Adat Nagari (LAN) Air Bangis pada 1 Mei 2011 lalu.
Menurut Ahmad, konflik antar kelompok tani tersebut berawal dari pencaplokan lahan dan perusakan tanaman seluas 75 ha yang dikelola oleh kelompok tani Kayu Arraw oleh anggota kelompok tani Cakrawala, Saiyo Mandiri, dan kelompok tani Niat Suci yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Gapoktan merupakan gabungan kelompok tani binaan perusahaan perkebunan sawit PT INKUD.
Alasan penguasaan lahan tersebut, lanjut Ahmad, karena Gapoktan mengantongi izin Bupati Pasaman Barat dan sertifikat tanah seluas 1.000 ha untuk proyek revitalisasi lahan perkebunan yang 75 ha di antaranya merupakan lahan yang dikelola oleh kelompok tani Kayu Arraw yang juga sudah mengantongi izin garapan dan bantuan dana sebesar Rp 80 juta melalui proyek Gerakan nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) tahun anggaran 2006.
"Di lahan 75 ha itu terdapat sekitar 22.500 tanaman berupa pohon mahoni, karet dan mangga. Kami sudah merawat tanaman itu sejak lima tahun lalu dan sama sekali belum dapat memanen hasilnya. Kami terikat perjanjian dengan Dinas Kehutanan baru boleh menebang tanaman itu ketika sudah berusia 10 tahun," ujar Ahmad.
Sementara itu Direktur LBH Padang, Vino Oktavia Mancun mengatakan, Kabupaten Pasaman Barat merupakan salah satu kawasan yang rawan terjadinya konflik lahan karena merupakan target ekspansi perusahaan perkebunan besar. Konflik itu, menurut dia, dapat dengan mudah terjadi dan akan terus berkepanjangan bila pemegang kebijakan tidak tegas dan hati-hati dalam mengeluarkan sebuah kebijakan.
Kasus ini merupakan salah satu contoh akibat adanya tumpang tindih kebijakan. Sebuah lahan yang telah dikelola berdasarkan sebuah SK Bupati dalam proyek GN-RHL bisa begitu saja ditimpa oleh SK Bupati lainnya untuk proyek yang berbeda.
"Kebijakan tumpang tindih itu menyebabkan jerih payah petani yang mengelola lahan tersebut jadi sia-sia dan uang negara yang telah dikeluarkan untuk proyek GN-RHL jadi mubazir," tukasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar